Sisingamangaraja X

Sisingamangaraja X adalah salah satu raja-imam (Priest King) dari Dinasti Sisingamangaraja. Sisingamangaraja (SM Raja) X memerintah dari tahun 1797-1819 di Bakkara, Toba. [1]

Sisingamangaraja X terkenal karena heroismenya dalam memimpin rakyat Toba menghadapi serangan Pasukan Padri.[1]

Sumber Perekonomian

sunting

Dalam periode ±1530-1819, Dinasti Sisingamangaraja dapat memiliki kekayaan berupa emas dan perhiasan dalam jumlah yang cukup banyak, dikarenakan dalam 10 generasi, Dinasti Sisingamangaraja memegang dominasi atas kegiatan perniagaan kemenyan dan kamfer (kapur barus). Hal ini tidak berlanjut pasca era Sisingamangaraja X.[1]

Sebuah analisis menyebutkan bahwa Dinasti Sisingamangaraja memiliki karakteristik yang berbeda dengan Raja-raja di Pulau Jawa, dalam hal penggunaan harta kerajaan. Jika di Pulau Jawa Raja-raja banyak mendirikan candi-candi, istana-istana, dan bangunan-bangunan lain, maka di Bakkara, Dinasti Sisingamangaraja lebih cenderung mengkoleksi logam mulia atau batu-batu permata, yang salah satu sumbernya, berasal dari India (masuk melalui jalan dagang lewat Pantai Barus). Bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa sebagian koleksi (intan) Dinasti Sisingamangaraja di kemudian hari menjadi perhiasan pada mahkota Ratu Victoria di Inggris.[1]

Situasi Menjelang Perang Padri

sunting

Sejak tahun 1550 Masehi, selama ± 10 generasi, raja-raja Sisingamangaraja yang memerintah di Bakkara, Toba, menjalin hubungan baik dengan Sultan-sultan Aceh.[1]

Dari Sultan Alaudin Johar Syah, Sisingamangaraja X mendapatkan informasi perihal adanya ancaman yang akan datang dari pasukan Padri di Minangkabau. Maka Sisingamangaraja X segera memperkuat pertahanan di Benteng Pangaloan, Pahae, dan Benteng Tanggabatu di Humbang. Pada tahun 1805, Sisingamangaraja X telah memobilisasi ± 40.000 pasukan berkuda, 15.000 pasukan di antaranya terpusat di Benteng Tanggabatu.[1]

Sebagai gambaran pada masa itu, sekitar tahun 1807, suku Batak dan Suku Minangkabau sejak 3.000 tahun telah hidup berdampingan secara damai di Pulau Sumatera. Ada suatu kawasan, di antara Muara Sipongi dan Lubuksikaping, yang dijuluki sebagai "daerah tak bertuan" oleh kedua belah pihak. Karavan kuda pengangkut beban milik orang-orang Batak, hanya diperbolehkan sampai ke Pasar Lubuksikaping. Sedangkan Karavan kuda-kuda pengangkut beban milik orang-orang Minangkabau, hanya boleh sampai di Pasar Muarasipongi. Situasi itulah yang hendak dilanggar oleh Negara Darul Islam Minangkabau.[1]

Pada tahun 1813, Sisingamangaraja X menghadiri undangan musyawarah raja-raja Mandailing di Pakantan, Mandailing, dimana undangannya disampaikan oleh Mampe Nasution, Kepala Adat di Hutapungkut, Mandailing. Musyawarah tersebut untuk merencanakan pertahanan bersama menghadapi serangan pasukan Padri ke Tanah Batak.[1] Sisingamangaraja X hadir bersama Panglima Jomba Simorangkir di Pakantan, dengan pengawalan 120 orang pasukan berkuda yang terdiri dari orang-orang marga Lubis dari sekitar Balige dan Narumonda.[1]

Pada musyawarah raja-raja Mandailing di Pakantan tersebut, hadir delegasi dari Sipirok dipimpin oleh Raja Baun Siregar, Raja Sipirok Godang. Dari Sipirok ke Pakantan, Raja Baun Siregar seperjalanan dengan Sisingamangaraja X. Saat itu, Raja Baun Siregar dan Sisingamangaraja X memperoleh informasi, bahwa Tuanku Rao, panglima pasukan Padri yang hendak menyerang Tanah Batak, adalah Pongkinaingolngolan, kemenakan dari Sisingamangaraja X.[1]

Benteng-benteng pasukan Sisingamangaraja X:

sunting
  1. Benteng Silantom di Humbang. dIpimpin oleh Raja Soaloon Harianja. Sifat pertahanan: Pos Perbatasan. Hanya diperkuat oleh 1.000 pasukan berkuda. Misi terutama untuk meneruskan informasi-informasi ke Benteng Tanggabatu di Humbang.
  2. Benteng Simangumban di Pahae, dipimpin oleh Panglima Raja Pandiklar Siregar/Siagian. Sifat pertahanan yaitu sebagai pos perbatasan. Diperkuat dengan 3.000 pasukan berkuda pimpinan Pangeran Ama Ni Binsar Sinambela, seorang bekas teman masa kecil Tuanku Rao semasa di Bakkara.
  3. Benteng Pangaloan di Pahae, dipimpin oleh Raja Gading Nainggolan, menantu dari Sisingamangaraja X. Sifat pertahanan yaitu sebagai pusat pertahanan bersama dengan Benteng Tanggabatu. Kekuatan sebanyak 6.000 pasukan berkuda pimpinan Panglima Jalang Sitompul. Ditambah dengan pertahanan rakyat dari klan/kelompok kekerabatan Siopat Pusoran dari sekitar lembah Silindung dan lembah Pahae, yang total berjumlah ± 70.000 orang.
  4. Benteng Tanggabatu di Humbang, langsung dipimpin oleh Sisingamangaraja X. SIfat pertahanan yaitu sebagai markas besar sistem pertahanan Tanah Batak Utara. Kekuatan sekitar 20.000 pasukan berkuda.
  5. Benteng Paranginan di Humbang, dipimpin oleh Raja Amantaras Sianturi, dengan kekuatan 2.000 pasukan berkuda. Sifat pertahanan yaitu sebagai pengamanan atas ibukota Bakkara.
  6. Benteng Muara di tepi Danau Toba, dipimpin oleh Panglima Ronggur SImorangkir. Sifat pertahanan yaitu sebagai pengamanan atas ibukota Bakkara.
  7. Benteng Bakkara di tepi Danau Toba, dipimpin oleh Pangeran Amandippu Sinambela, calon Sisingamangaraja XI. Sifat pertahanan yaitu sebagai kediaman keluarga dari Dinasti Sisingamangaraja sejak 10 generasi sebelumnya.
  8. Benteng Tamba di tepi Danau Toba, dipimpin oleh Raja Parultop Simbolon, dengan kekuatan 6.000 pasukan berkuda. Sifat pertahanan yaitu sebagai jalan keluar bilamana Sisingamangaraja X terpaksa mundur dari Benteng Tanggabatu, dan terpaksa hijrah pula dari Bakkara.
  9. Benteng Salak di Dairi, dipimpin oleh Panglima Syarif Tanjung, seorang beragama Islam mazhab Syiah. Benteng Salak berfungsi sebagai "ibukota kedua" dari Dinasti Sisingamangaraja.
  10. Benteng Tanjungbunga di seberang Pangururan, Samosir. Dipimpin oleh Raja Baganding Sagala. Berfungsi sebagai pusat evakuasi bagi kaum wanita dari ibukota Bakkara.
  11. Benteng Doloksanggul di Humbang, dipimpin oleh Raja Humirtok Rambe, raja daerah Tukka, Barus, yang kerap menjadi utusan Sisingamangaraja X untuk Kesultanan Aceh.
  12. Benteng Laguboti di Toba, dipimpin oleh Raja Sahala SImatupang, satu-satunya orang Toba yang pernah ke Sipirok, ke Benteng Rao, dan ke Pasar Lubuksikaping.[1]

Wafatnya Sisingamangaraja X

sunting

Tuanku Rao, dalam laporannya kepada Tuanku Imam Bonjol, menyebutkan bahwa Sisingamangaraja X gugur di Bakkara, pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1234 Hijriah/tahun 1819 Masehi.[1]

Sisingamangaraja X gugur dalam pertempuran menghadapi pasukan Padri di Bakkara, bersama 11 orang putra-putranya yang telah dewasa, dan ribuan pejuang Bakkara. Pemerintahan sementara atas Bakkara dijalankan oleh Datu Amantagor Manullang dari pengasingan di Benteng Tamba, dengan dibantu oleh Panglima Parultop Simbolon dan Panglima Hujur Situmorang, tahun 1819 - 1820.[1]

Pada tahun 1820, pasukan Padri meninggalkan Toba, Humbang dan Silindung, karena wabah penyakit yang sedang berkecamuk di kawasan tersebut. Datu Amantagor Manullang pun kembali ke Bakkara, dan mulai menjalankan pemerintahan sementara di Bakkara, sesuai perintah dari mendiang Sisingamangaraja X sendiri.[1]

Pada tahun 1830, Datu Amantagor Manullang, sebagai wali pemerintahan Sisingamangaraja XI, meninggal dunia. Sisingamangaraja XI, yang saat itu baru berusia 10 tahun, dinobatkan sebagai pengganti ayahnya, Sisingamangaraja X, lengkap dengan pusaka Piso Gaja Dompak.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Parlindungan, Mangaraja Onggang (2007). Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao terror agama Islam mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833. Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS). hlm. 476. ISBN 9789799785336.