Tōdai-ji

bangunan kuil di Jepang
(Dialihkan dari Todaiji)

Tōdai-ji (東大寺) adalah kuil Buddha yang terletak di kota Nara, Jepang. Letaknya di timur laut Taman Nara, dan merupakan kuil utama sekte Kegon. Kuil ini didirikan abad ke-8 (zaman Nara) oleh Kaisar Shōmu. Gohonzon berupa Buddha Wairocana yang dikenal sebagai Nara Daibutsu (Buddha Besar dari Nara). Perintis kuil adalah biksu bernama Rōben.

Tōdai-ji
東大寺
Daibutsu (Vairocana)
PetaKoordinat: 34°41′21″N 135°50′23″E / 34.68917°N 135.83972°E / 34.68917; 135.83972
Agama
AfiliasiBuddhisme
SekteKegon
WilayahKansai
DewaWairocana
Lokasi
LokasiNara
NegaraJepang
Arsitektur
TipeVihara (Kuil Buddhis)
Gaya arsitekturJepang
Dibangun olehKaisar Shōmu
Didirikanawal abad ke-8


Nama lain Tōdai-ji adalah Konkōmyō shitennō gokuku no tera (金光明四天王護国之寺). Kuil ini disebut Tōdai-ji (translasi literal: "kuil besar timur") karena terletak di timur ibu kota Heijō-kyō. Tōdai-ji bersama dengan 7 lokasi lain yang disebut Bangunan bersejarah di kota lama Nara merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO.

Pada zaman Nara, kuil ini dibangun sebagai kuil berskala besar. Selain bangunan utama (Kon-dō atau Daibutsuden) yang berisi Daibutsu, di sebelah timur dan barat didirikan pagoda 7 tingkat yang diperkirakan tingginya 100 meter. Namun sejak zaman Heian, sebagian besar bangunan sudah habis terbakar sebanyak dua kali akibat perang. Bangunan yang tersisa dari zaman Nara hanya sebagian dari bagian alas Daibutsu. Bangunan utama (Daibutsuden) yang ada sekarang dibangun pada awal abad ke-18 (zaman Edo). Bangunan utama yang ada sekarang lebarnya hanya 66% dibandingkan bangunan aslinya pada zaman Nara. Pada masa pemerintahan Kaisar Shōmu, Tōdai-ji menjadi kuil pusat bagi lebih dari 60 kuil provinsi (kokubunji) di seluruh Jepang.

Sejarah

sunting

Pendirian kuil

sunting
 
Daibutsuden (Aula Daibutsu)

Tōdai-ji sudah dibangun sejak awal abad ke-8 di kaki Gunung Wakakusa. Menurut Tōdai-ji yōroku (buku catatan milik Tōdai-ji), cikal bakal Tōdai-ji adalah kuil bernama Kinshō-ji (金鐘寺) atau Konshu-ji (金鍾寺) yang didirikan tahun 733 di kaki Gunung Wakakusa. Sementara itu, menurut Shoku Nihongi, Kaisar Shōmu dan Permaisuri Kōmyō mendirikan sebuah kuil di kaki Gunung Wakakusa untuk mengenang putranya yang meninggal sewaktu masih kecil. Kuil tersebut menjadi tempat kediaman bagi 9 orang biksu, dan merupakan cikal bakal dari Kinshō-ji. Pada pertengahan abad ke-8, Kinshō-ji terdiri dari bangunan yang disebut Kensaku-dō dan Senju-dō. Berdasarkan perintah kaisar tahun 742, Kinshō-ji dijadikan kuil provinsi bagi Provinsi Yamato, dan namanya diganti menjadi Konkōmyō-ji.

Daibutsu mulai dibangun tahun 747, dan sejak itu pula diperkirakan kuil ini mulai dinamakan Tōdai-ji. Berita mengenai "kantor pembangunan Tōdai-ji" dicatat pertama kali dalam catatan sejarah tahun 748.

Perintah pembangunan Daibutsu sudah dikeluarkan Kaisar Shōmu pada tahun 743. Pada waktu itu, ibu kota berada Kuninomiya, sedangkan kaisar tinggal di timur laut Kuninomiya, tepatnya di Shigarakinomiya (sekarang kota Kōka, Prefektur Shiga) sehingga pembangunan Daibutsu dimulai di Shigarakinomiya. Dua tahun kemudian, ibu kota kembali dipindahkan ke Heijō-kyō. Pembangunan Daibutsu juga ikut dipindah ke tempatnya yang sekarang di Tōdai-ji. Pihak istana memerlukan dukungan kuat dari rakyat untuk proyek berskala besar seperti pembangunan Daibutsu. Dukungan rakyat diperoleh setelah Gyoki yang pernah dipecat dari istana diangkat pihak istana sebagai biksu kepala.

Setelah pembangunan Daibutsu selesai, upacara peresmian dilangsungkan tahun 752 dengan pemimpin upacara seorang biksu kelahiran India bernama Bodhisena. Proyek berikutnya adalah pembangunan Daibutsuden (Aula Daibutsu) yang dimulai tahun 758. Empat tokoh berpengaruh dalam proyek pembangunan Tōdai-ji disebut Shishō (四聖, empat orang suci) yang terdiri dari Rōben, Kaisar Shōmu, Gyōki, dan Bodhisena.

Proyek berskala besar seperti pembangunan Daibutsu dan Aula Daibutsu ternyata menguras uang negara. Sementara kalangan bangsawan dan kuil dalam keadaan serba berkecukupan, kehidupan kalangan petani menjadi semakin sulit. Gelandangan bermunculan di Heijō-kyo, sedangkan orang mati kelaparan tidak terhitung jumlahnya. Di tengah berlangsungnya proyek, Kaisar Shōmu meninggal dunia pada tahun 756. Pada bulan 7 tahun yang sama, Tachibana no Naramaro memimpin pemberontakan. Ayah Naramaro (Tachibana no Moroe) sebenarnya adalah pembantu dekat Kaisar Shōmu yang memulai proyek Tōdai-ji. Setelah tertangkap, Naramaro diinterogasi oleh Fujiwara no Nagate. Menurutnya, pembangunan Tōdai-ji dan sebagainya hanya membuat susah rakyat, dan pemerintah telah salah jalan.

Bangunan dan peninggalan budaya

sunting

Nandaimon (Gerbang Besar Selatan)

sunting
 
Nandaimon (Gerbang Besar Selatan)

Pada tahun 962, Nandaimon pernah dirobohkan angin topan, tetapi dibangun kembali pada tahun 1199 (zaman Kamakura). Pembangunan kembali dipimpin biksu Shunjōbō Chōgen dengan memperkenalkan gaya arsitektur Daibutsuyō (dulu disebut Tenjikuyō atau "gaya India"). Chōgen belajar arsitektur Daibutsuyō dari Dinasti Song di Tiongkok. Ciri khas Daibutsuyō adalah sambungan kayu berupa balok pengikat (balok sloof) yang menembus tiang kolom, atau dalam bahasa Jepang disebut nuki ()[1]. Langit-langit juga dibiarkan terbuka untuk memperlihatkan kuda-kuda. Masih seatap dengan bangunan gerbang, di sisi kiri dan kanan bagian depan terdapat sepasang Kongorikishi (Nio), sedangkan di sisi kiri dan kanan bagian dalam terdapat sepasang singa batu.

Mokuzo Kongōrikishi Ritsuzō

sunting
 
Agyō, patung kayu seluruh badan Kongōrikishi

Sepasang patung kayu seluruh badan Kongōrikishi (Mokuzo Kongōrikishi Ritsuzō) menyambut orang yang memasuki Nandaimon. Masing-masing patung tingginya 8,4 m dan keduanya merupakan pusaka nasional Jepang. Patung Ungyō berada di sisi sebelah kanan, dan bisa dikenali dari mulutnya yang tertutup. Patung Agyō berada di sisi sebelah kiri, dan bisa dikenali dari mulutnya yang terbuka.

Berbagai macam benda dan dokumen ditemukan dari dalam patung ketika keduanya dibongkar dalam proyek pemugaran dari tahun 1988 hingga 1993. Berdasarkan dokumen yang ditemukan dari dalam patung, Agyo adalah karya busshi (pemahat patung Buddha) bernama Unkei dan Kaikei, serta 13 pemahat bawahannya. Sementara itu, Ungyō adalah karya pemahat patung Buddha bernama Teikaku dan Tankei, serta 12 pemahat bawahannya. Penemuan tersebut memperbaiki teori sebelumnya bahwa "patung Agyō adalah karya Kaikei, sedangkan patung Ungyō adalah karya Unkei". Selain itu, Unkei bukanlah pemahat kepala yang memimpin pembangunan Agyō dan Ungyō seperti dulu banyak diketahui orang.

Chūmon (Gerbang Tengah)

sunting
 
Chūmon (Gerbang Tengah)

Chūmon merupakan pintu masuk menuju kompleks Aula Daibutsu. Bangunan gerbang berbentuk rōmon (gerbang tinggi yang terlihat seperti bangunan bertingkat dua)[2], dan dibangun sekitar tahun 1716 dengan gaya arsitektur irimoya-zukuri.[3] Di sisi kiri dan kanan gerbang utama dibangun tembok pagar. Bila dilihat dari atas, bangunan gerbang dan tembok membentuk huruf "u" yang memagari Aula Daibutsu.

Kon-dō (Daibutsuden)

sunting

Nyōirin Kannon dan Kokūzō Bosatsu

sunting

Rupang Avalokitesvara Cintamanicakra (Nyōirin Kannon) dan Akasagarbha Bodhisattva (Kokūzō Bosatsu) yang sedang duduk bersila berada di sisi kiri dan kanan Daibutsu. Berbeda dengan Daibutsu yang dibuat dari perunggu, kedua rupang ini dibuat dari kayu. Pemahatnya berasal dari zaman Edo, Yamamoto Junkei dan kelompoknya dari Kyoto, serta Tsubai Kenkei dan kelompoknya dari Osaka. Penyelesaian kedua rupang ini membutuhkan waktu sekitar 30 tahun, dan merupakan salah satu contoh adikarya seni pahat dari zaman Edo. Rupang Nyōirin Kannon selesai tahun 1738, sedangkan rupang Kokūzō Bosatsu selesai tahun 1752.

Pranala luar

sunting