Kerajaan Bangli adalah kerajaan yang didirikan setelah kejatuhan Majapahit, setelah Dewa Agung Ketut, Raja dari Kerajaan Bali, penguasa Bali dan Lombok membagi kerajaannya dalam kerajaan-kerajaan vasal. Bangli diberikan status baru sebagai panegara atau kerajaan vasal di bawah pusat pemerintahan langsung Kerajaan Gelgel dengan pengangkatan I Gusti Wija Pulada sebagai Anglurah di Bangli pada Soma Julungwangi, Sasih Kesanga Penanggal ping 9 Caka 1375 (14 Maret 1453).[1]

Bangli sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat lepas dari kekuasaan Gelgel pada tahun 1686, ketika terjadi pemberontakan I Gusti Agung Maruti di Gelgel. Puri Bangli sebagai pusat kota kerajaan Bangli sendiri mulai didirikan I Dewa Gde Bencingah sekitar tahun 1576 Masehi, setelah I Gusti Peraupan dikalahkan Tamanbali dan Nyalian.[2]

Berdasarkan lontar yang ada di Puri Agung Bangli dan Raja Purana Batur, kerajaan Bangli dibangun oleh I Dewa Gede Den Bencingah, sekitar abad Ke 15 atau sekitar tahun 1600-an M, dan beliau beristana di Puri Rum (yang sekarang berlokasi di Lingkungan Puri Agung Bangli dekat dengan titik 0 Kota Bangli). Beliau merupakan putra tertua dari I Dewa Gede Anom Oka yang merupakan raja di kerajaan Bhresika (Nyalian, Klungkung) dengan permaisuri Dewa Ayu Mas Dalem.[3]

Sebelum membangun kota di hutan Jarak Bang, yang sekarang diberi nama Bangli, I Dewa Gede Anom Oka bersabda kepada I Dewa Gede Den Bencingah, sbb. : "Duhai putraku, engkau yang tertua, kuperintahkan kini untuk membangun istana/kutha (kota) tiada lain di hutan Jarak Bang. Dahulu kakekmu berburu burung perkutut disana. Kemudian bila telah menjadi suatu daerah, berikanlah nama Bangli, dan engkau menjadi raja disana. Wilayahmu yakni : di sebelah Barat sungai Melangit. Himpunlah rakyat sampai Barat Laut, dan Timur ke Utara sampai daerah pegunungan. Ada juga pesan ayahanda kepada Ananda, dirikanlah Parahyangan bagi sthana para Dewa, dan sthana untuk Betara Toya Mas Arum. Adapun bentuk parahyangannya : Meru tingkat sebelas, Meru tingkat sembilan, dan Meru tingkat tujuh. Dan sthana Betara Toya Mas Arum adalah Gedong (Pura Penataran Agung Bangli). Upacara piodalannya adalah pada hari Purnama sasih Karo, dengan sarana persembahan : Kerbau, Pulakerthi, dari rakyat dan sekehe teruna, menghaturkan Dangsil dan Jerimpen masing-masing. Prebekel semuanya menghaturkan Daksina, beserta uang sesantun sejumlah 192 kepeng dan langsung dipersembahkan kepada Ida Betara. Pada Catur Dasi Sukla, kerbaunya lalu disemblih, pala kiwanya (paha kirinya) diberi kain kotak-kotak hitam-putih (poleng) diletakan di atas jempana. Setelah selesai membuat olahan lalu Kepala Desa menyuarakan "Tegteg Agung" (pejenengan / kulkul agung). Yadnya dilaksanakan sesuai tata upacara : Pala Kiwa dan Pulakerthi dibawa mengelilingi pura tiga kali, serta diiringi jerimpen di belakang, yaitu : jerimpen dari Prebekel, jerimpen sekehe teruna, kemudian metabuh arak-berem, kemudian kembali masuk ke Pura.

Pendeta Siwa, Budha mepuja, mastungkara kehadapan Hyang Makulun ( Tuhan ). Besoknya para Punggawa (Camat) mempersembahkan daksina, tapakan serta uang 527 kepeng, seluruhnya dipersembahkan kehadapan Ida Betara, lalu para Punggawa bersembahyang dengan bunga dua kali, kwangi satu kali. Kwangennya dengan uang 11 kepeng. Setelah itu para Punggawa keluar sambil membawa salaran dan masakarura. Berselang tiga hari setelah karya, hendaknya Ananda memerintah rakyat semuanya menghaturkan sajen canang, serta mebawa sibuh lalu bersembahyang. Kemudian kepada rakyat seluruhnya diberikan beras dari pulakerthi dan tirta kekuluh. Beritahu bahwa beras pulakerthi itu sampai di rumah supaya dipakai bubur, lalu ditempatkan pada takir ditambah air cendana. Setelah itu supaya dibawa ke sawah masing-masing, dan dihaturkan di pengalapan, dengan sesirat tirta kekuluh. Doanya adalah : "Singgih Betara Toya Mas Arum. Iratu micayang pengelanus, asing tandur titiang mangda becik mupu". Kepada para Punggawa semuanya diberitahukan pula agar membuat Parahyangan : Gedong tingkat tiga, tingkat satu, dan piodalannya jatuh pada bulan Purnama, sasih Kawulu". Demilkianlah wejangan ayahandanya, kemudian berangkatlah beliau menuju hutan Jarak Bang.

Sesuai titah Ayahndanya, I Dewa Gede Den Bencingah mulai menata hutan Jarak Bang bersama masyarakatnya, serta membuat istana yang diberi nama Puri Rum sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah mulai dikembangkan, hingga memjadi seperti Bangli pada saat ini.

Masuknya belanda ke Bali masa awal 1800 M, memulai membuat perubahan besar terhadap keberadaan kerajaan kerajaan di Bali.

Pada tanggal 26 April 1849, Raja Bangli mengajukan peremohonan kepada Jend. Michiels agar diberi kekuasaan untuk menguasasai wilayahnya yang dikuasai oleh kerajaan Buleleleng, Karangasem, Mengwi dan Gianyar.

Tanggal 25 Juni 1849, Raja Bangli I Dewa Gede Tangkeban dinobatkan dan diberi wilayah kekuasaan oleh Belanda untuk memerintah Buleleng selain Bangli. Dan Pada tanggal 15 Pebruari 1854, mengembalikan wilayah Buleleng kepada Belanda. Hal ini dilakukan agar Raja Bangli lebih berkonsentrasi mengamanakan wilayah kerajaannya dari serangan Raja Gianyar dan Karangasem.

Pemerintah Hindia Belanda mulai mengintervensi kekuasaan raja raja di Bali. Setelah terjadinya puputan Badung 1906 dan puputan Klungkung 1908, pada tahun 1909, kerajaan Bangli menyatakan tunduk kepada Belanda sehingga kerajaan Bangli merupakan kerajaan yang terakhir di Bali menyatakan tunduk pada Belanda. Saat itu akhirnya Bali secara menyeluruh dapat dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada Tanggal 29 Juni 1938, pada hari raya Galungan dilangsungkan upacara sumpah jabatan kepada kedelapan Kepala Pemerintahan Swapraja di Pura Besakih. Dan pada tanggal 1 Juli 1938, Bali dibagi menjadi delapan distrik (sejajar dengan keberadaan kerajaan kerajaan sebelumnya), yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem, yang merupakan cikal bakal Asta Negara di bali.

Puri Agung Susut Bangli

sunting

Puri Agung Susut terletak di desa Susut, Bangli, masih merupakan keturunan Ksatria Taman Bali dan keturunan Kawitan Maha Gotra Titra Harum.

Daftar raja Bangli

sunting

Daftar raja di Kerajaan Bangli sebagai berikut:

  • Dewa Gede Tangkeban I (dari Nyalian ?-1804)
  • Dewa Rahi (c. 1804-1815)
  • Dewa Gede Tangkeban II (c. 1815-1833) [anak Dewa Gede Tangkeban I]
  • Dewa Gede Tangkeban III (1833–1875) [anak Dewa Gede Tangkeban II]
  • Dewa Gede Oka (1875–1880) [anak Dewa Gede Tangkeban III]
  • Dewa Gede Ngurah (1881–1892) [saudara Dewa Gede Oka]
  • Dewa Gede Cokorda (1894–1911) [saudara Dewa Gede Ngurah]
  • Dewa Gede Rai (regent 1913-1925) [saudara Dewa Gede Cokorda]
  • Dewa Gede Taman (regent 1925-1930) [cucu Dewa Gede Tangkaban III]
  • Dewa Putu Bukian (caretaker 1930-1931) [cucu Dewa Gede Tangkaban III]
  • Anak Agung Ketut Ngurah (penguasa, menggunakan gelar Anak Agung, 1931-1950; wafat 1961) [anak Dewa Gede Cokorda]

Bangli bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950.

Referensi

sunting
  1. ^ Singgih, I Nyoman (2003). Bangli Tempo Doeloe. Yayasan Wikarman Bangli. 
  2. ^ "Bangli, kerajaan / Bali – kab. Bangli". Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia (dalam bahasa Inggris). 2014-05-09. Diakses tanggal 2019-05-13. 
  3. ^ Unknown (Kamis, 23 Oktober 2014). "Puri Agung Bangli: Sejarah Puri Agung Bangli". Puri Agung Bangli. Diakses tanggal 2022-08-16.