Istana Bung Hatta

bangunan kuil di Indonesia

Istana Bung Hatta[1] atau Gedung Negara Tri Arga (pernah bernama Rumah Tamu Agung) adalah gedung bekas kediaman Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta yang terletak di pusat Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Bangunan yang berdiri saat ini adalah hasil renovasi pada 1961 setelah bangunan asli dibumihanguskan sewaktu Agresi II Militer Belanda pada 1948.

Istana Bung Hatta, dari puncak menara Jam Gadang

Pada tahun 1965, gedung ini menjadi tempat pengukuhan gelar Bundo Kandung Agung kepada istri Soekarno, Hartini.[2][3][4] Pemberian gelar tersebut merupakan upaya Gubernur Sumatera Barat Kaharudin Datuk Rangkayo Basa meraih simpati Soekarno setelah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).[5]

Saat ini, Istana Bung Hatta digunakan sebagai tempat seminar, lokakarya, pertemuan kenegaraan, serta sebagai rumah tamu negara yang berkunjung ke Bukittinggi.[6]

Sejarah

sunting

Bangunan asli gedung ini, yang sudah berdiri sebelum kemerdekaan Indonesia, pernah menjadi tempat kedudukan Residen Padangse Bovenlanden dan Asisten Residen Agam. Riwayat pembangunannya tidak diketahui.[7]

Setelah kemerdekaan Indonesia, bangunan tersebut sempat menjadi istana sekaligus tempat kediaman Wakil Presiden Mohammad Hatta antara bulan Juni 1947 hingga Februari 1948. Di sini, Hatta mengadakan pertemuan baik dengan tamu kenegaraan maupun pemimpin setempat sambil mempelajari masalah-masalah mendesak yang dihadapi. Hatta mengundang semua orang yang menduduki jabatan pimpinan partai, tentara, guru agama, dan pegawai negeri di daerah guna mendengar arahannya.[8]

 
Pawai besar-besaran Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) pada September 1947

Pada September 1947, Hatta menerima delegasi Komisi Tiga Negara (KTN) yang mengawasi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda di gedung ini. Bersamaan dengan kunjungan KTN tersebut, sekitar 15.000 pemuda yang tergabung dalam Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) melakukan arak-arakan membawa bambu runcing dan menyampaikan hasrat ingin merdeka di depan istana.[9]

Di gedung ini pula, Hatta pada akhir November 1947 menerima sumbangan emas dari kaum ibu-ibu Sumatera Barat seberat 14 kg yang selanjutnya digunakan untuk membeli pesawat terbang Avro Anson RI-003.[10]

Kehancuran dan renovasi

sunting

Menjelang Agresi II Militer Belanda pada 1948, gedung ini dibumihanguskan bersama sejumlah bangunan penting lainnya di Bukittinggi. Komandan militer setempat mengeluarkan perintah membumihanguskan Bukittinggi sebagai taktik perang dan mengimbau warga kota agar mengungsi keluar kota.[8]

Pada tahun 1961, seiring pemecahan Sumatra Tengah menjadi tiga provinsi pada 1958, Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa menggagas renovasi bangunan dan menyematkan nama Gedung Negara Tri Arga. Nama ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti tiga gunung tinggi, meruju pada tiga gunung yang mengelilingi Kota Bukittinggi: Gunung Singgalang, Gunung Marapi, dan Gunung Sago.

Bangunan

sunting

Berdiri di atas lahan seluas 12.425 meter persegi, Istana Bung Hatta memiliki luas bangunan 3.672 meter persegi dengan denah berukuran 65 x 54 meter. Bangunannya meliputi ruang utama, ruang tamu, ruang rapat, dan delapan kamar yang luas (belakangan ada penambahan kamar menjadi 12 kamar). Sebagian bangunan bagian barat sudah dibongkar akibat adanya pembangunan Hotel Novotel.[6]

Pada halaman depan, terdapat koridor yang disangga oleh pilar-pilar berbentuk silinder. Di dalam kompleks bangunan, terdapat dua patung Bung Hatta masing-masing terletak di bagian depan bangunan (patung separuh badan) dan di sisi samping bangunan (patung seluruh badan) yang berukuran tinggi dua meter.[6]

Di dalam bangunan, terdapat banyak foto-foto yang menceritakan perjalanan hidup Bung Hatta, mulai dari masa kecil hingga Bung Hatta menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.[6]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-21. Diakses tanggal 2019-08-21. 
  2. ^ Mingguan Djaja. Pembangunan Ibu Kota Djakarta Raya. 1965. 
  3. ^ Navis, A. A.; Yusra, Abrar (1994). Otobiografi A.A. Navis: satiris dan suara kritis dari daerah. Panitia Peringatan 70 Tahun Sastrawan A.A. Navis & Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-605-141-0. 
  4. ^ Chaniago, Hasril (1998). Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa: Gubernur di tengah pergolakan. Pustaka Sinar Harapan. ISBN 978-979-416-582-9. 
  5. ^ Karsyah, Lindo (2005). Dari Gubernur M. Nasroen sampai Zainal Bakar, 1947-2005. Genta Singgalang Press. ISBN 978-979-99712-0-3. 
  6. ^ a b c d Fadhila, Fitria (2019-01-14). "PERLINDUNGAN SITUS CAGAR BUDAYA ISTANA BUNG HATTA OLEH PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT". Universitas Andalas. 
  7. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-10-30. Diakses tanggal 2021-10-30. 
  8. ^ a b Mestika Zed (1995). Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945–1995. Bidang Penerbitan Khusus, Panitia Peringatan 50 Tahun RI, Sumatera Barat. 
  9. ^ Bung Hatta mengabdi pada tjita-tjita perdjoangan bangsa (dalam bahasa Melayu). Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70. 1972. 
  10. ^ Joenoes, Marah (2001). Mr. H. Sutan Mohammad Rasjid: perintis kemerdekaan, Mahaputra Adipradana, mantan Gubernur Militer Sumatera Tengah, mantan Duta Besar RI di Roma, pejuang tangguh, berani, dan jujur. Mutiara Sumber Widya.